BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia lahir dikodratkan sebagai makhluk individu
dan sosial. Sebagai individu, manusia adalah perpaduan antara aspek-aspek yang
tidak dapat dipisahkan, baik itu aspek jasmani maupun rohani, aspek pembawaan
genotip dan fenotip. Di sisi lain, manusia sebagai makhluk sosial, yang tunduk
pada hal-hal lain yang berada di luar dirinya, baik itu nilai, norma dan hukum.
Manusia sebagai makhluk sosial mengalami interaksi
sosial yang terjadi antar individu, kelompok sosial dan masyarakat.
Bentuk-bentuk interaksi sosial itu bermacam-macam, ada yang berbentuk kerja
sama, persaingan atau dalam bentuk konflik. Dengan banyaknya bentuk interaksi
yang muncul, manusia harus mampu menempatkan posisinya dalam masyarakat.
Konsep masyarakat dan masyarakat setempat
(komunitas) adalah konsep yang sering digunakan dalam membahas masalah-masalah
lingkungan sosial, budaya dan teknologi. Bangsa Indonesia, sebagaimana kita
ketahui, mempunyai keberagaman etnis, kultural, religius dan geografi. Konsekuensinya
adalah muncul perbedaan-perbedaan dalam bangsa Indonesia. Multikultural yang
menjadi karakteristik Indonesia mempunyai sisi baik dan sisi buruk.
Sejak dahulu, keanekaragaman budaya Indonesia
menjadi daya tarik mancanegara. Namun, karena multikultural pula bangsa
Indonesia pernah mengalami beberapa pergolakan dalam masyarakat. Salah satu
contohnya adalah diskriminasi etnis Tionghoa di Indonesia sampai awal tahun
2000-an. Tanpa kedewasaan dan kebijaksaan semua orang, konflik-konflik yang
timbul tidak akan dapat terselesaikan. Oleh karena itu, manusia harus mampu
memposisikan diri sebagai makhluk individu dan makhluk sosial untuk mewujudkan
lingkungan masyarakat yang kondusif.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah perbedaan
antara manusia sebagai makhluk hidup yang khas dan sebagai makhluk sosial?
2.
Apakah manusia
terkait dengan interaksi sosial dan sosialisasi?
3.
Apakah perbedaan
antara masyarakat dan komunitas?
C.
Tujuan
1.
Menjelaskan
perbedaan antara manusia sebagai makhluk hidup yang khas dan sebagai makhluk
sosial.
2.
Menjelaskan
bahwa manusia terkait dengan interaksi sosial dan sosialisasi.
3.
Menjelaskan
perbedaan antara masyarakat dan komunitas.
D.
Manfaat
1.
Dapat mengetahui
perbedaan antara manusia sebagai makhluk hidup yang khas dan sebagai makhluk
sosial.
2.
Dapat mengetahui
bahwa manusia terkait dengan interaksi sosial dan sosialisasi.
3.
Dapat mengetahui
perbedaan antara masyarakat dan komunitas.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Manusia Sebagai Makhluk Individu dan Makhluk Sosial
Manusia adalah makhluk yang
istimewa. Selain memiliki naluri seperti makhluk lain,manusia juga
memiliki akal yang berkembang dari hari ke hari, dari generasi ke
generasi. Dengan akal yang dianugerahkan
itu, manusia dapat melakukan studi yang intensif terhadap eksistensi manusia
itu sendiri
Manusia merupakan makhluk yang
monodualistis. Di satu sisi manusia memiliki ciri khas dan tujuan hidup yang
berbeda antara satu dengan yang lain. Tapi di sisi lain, manusia selalu
membutuhkan bantuan orang lain dan tidak bisa hidup tanpa kehadiran manusia
lain. Dengan kata lain, manusia bersifat monodualistis karena memiliki ciri
khas sebagai individu sekaligus berperan sebagai makhluk sosial dalam
kehidupannya.
1. Manusia
Sebagai Makhluk Individu
Secara terminologis, kata individu
berasal dari kata dalam bahasa Inggris in dan divided. Kata in
berarti tidak, sedangkan divided artinya terbagi. Jadi individu
artinya tidak terbagi, atau satu kesatuan. Dalam bahasa latin individu berasal
dari kata individium yang berarti yang tak terbagi, jadi merupakan suatu
sebutan yang dapat dipakai untuk menyatakan suatu kesatuan yang paling kecil
dan tak terbatas.
Manusia dikatakan suatu “kesatuan” karena memiliki unsur-unsur yang tidak
dapat dipisahkan di dalam tiap individunya.Unsur tersebut antara lain unsur jasmani
dan rohani, unsur fisik dan psikis, unsur raga dan jiwa. Seseorang dikatakan
sebagai manusia individu manakala unsur-unsur tersebut menyatu dalam dirinya.
Jika unsur tersebut sudah tidak menyatu
lagi maka seseorang tidak disebut sebagai individu.
Setiap manusia memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri, tidak ada
manusia yang persis sama. Dari sekian banyak manusia, ternyata masing-masing
memiliki keunikan tersendiri. Keunikan tersebut dapat berasal dari faktor fisik
maupun psikisnya. Semirip apapun dua orang kembar secara fisik, tetap saja
tidak mungkin 100% sama satu dengan yang lain. Apalagi faktor psikis yang
sangat dipengaruhi oleh pengalaman hidup masing-masing individu.
Seorang individu adalah perpaduan antara faktor fenotip dan genotip. Faktor
genotip adalah faktor yang dibawa individu sejak lahir, merupakan faktor
keturunan yang dibawa oleh individu secara biologis dari orangtuanya. Selain
faktor alam/biologis, ciri seorang individu juga dipengaruhi oleh lingkungan
tempatnya hidup dan berkembang (faktor fenotip). Faktor lingkungan (fenotip)
ikut berperan dalam pembentukan karakteristik yang khas dari seseorang. Istilah
lingkungan merujuk pada lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Lingkungan
fisik seperti kondisi alam sekitarnya. Lingkungan sosial, merujuk pada
lingkungan di mana seorang individu melakukan interaksi sosial. Kita melakukan
interaksi sosial dengan anggota keluarga, dengan teman, dan kelompok sosial
yang lebih besar.
Pengaruh lingkungan fisik misalnya orang yang hidup di
pantai memiliki ciri khas yang berbeda dengan yang tinggal di pegunungan.
Sedangkan pengaruh lingkungan sosial, misalnya seorang anak tunggal akan
berbeda sikap dan sifatnya relatif terhadap seorang anak yang ada dalam
keluarga besar.
Kepribadian
Karakteristik yang khas dari seeorang dapat kita sebut dengan kepribadian. Setiap orang memiliki
kepribadian yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh faktor bawaan genotip) dan
faktor lingkungan (fenotip) yang saling berinteraksi terus-menerus.
Menurut Nursid Sumaatmadja (2000), kepribadian adalah keseluruhan perilaku
individu yang merupakan hasil interaksi antara potensi-potensi bio-psiko-fiskal
(fisik dan psikis) yang terbawa sejak lahir dengan rangkaian situasi
lingkungan, yang terungkap pada tindakan dan perbuatan serta reaksi mental
psikologisnya, jika mendapat rangsangan dari lingkungan. Dia menyimpulkan bahwa
faktor lingkungan (fenotip) ikut berperan dalam pembentukan karakteristik yang
khas dari seseorang.
Kepribadian adalah puncak perkembangan ciri khas seorang manusia sebagai
individu. Seorang individu cenderung akan menghadapi masalah dalam hidup sesuai
kepribadiannya dan akan cenderung mencari pengakuan terhadap kepribadiannya
tersebut.
2. Manusia
Sebagai Makhluk Sosial
Menurut kodratnya manusia adalah makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat,
selain itu juga diberikan yang berupa akal pikiran yang berkembang serta dapat
dikembangkan. Dalam hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial, manusia
selalu hidup bersama dengan manusia lainnya.
Dorongan masyarakat yang dibina sejak lahir akan selalu menampakan dirinya
dalam berbagai bentuk, karena itu dengan sendirinya manusia akan selalu
bermasyarakat dalam kehidupannya. Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial,
juga karena pada diri manusia ada dorongan dan kebutuhan untuk berhubungan
(interaksi) dengan orang lain, manusia juga tidak akan bisa hidup sebagai
manusia kalau tidak hidup di tengah-tengah manusia.
Walaupun manusia memiliki sifat khas sebagai individu, tetapi terkadang
sifat ini tidak sepenuhnya muncul ketika manusia sedang berinteraksi dengan
manusia lain. Misalnya seseorang yang tidak menyukai memakai kemeja tetap akan
memakai kemeja saat dia datang ke sekolah. Belum lagi kepuasan yang didapatkan
manusia apabila ia dihargai oleh sesama nya, apabila dikatakan baik, pintar dan
baik oleh orang lain, manusia akan mendapatkan rasa puas tersendiri. Hal itu
merupakan salah satu ciri bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk sosial.
Tanpa bantuan manusia lainnya, manusia tidak mungkin bisa berjalan dengan
tegak. Dengan bantuan orang lain,
manusia bisa menggunakan tangan, bisa berkomunikasi atau bicara, dan bisa
mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya.
Secara fisik, manusia diciptakan lebih lemah daripada beberapa makhluk
lain. Seekor jerapah dapat mencari berdiri dan mencari makan sendiri dalam
beberapa menit saja setelah dilahirkan. Berbeda dengan manusia yang ketika
lahir tidak berdaya, dan tidak akan bisa hidup apabila tidak dibantu oleh orang
lain. Hal ini merupakan pertanda dari Tuhan YME bahwa manusia harus bekerja
sama satu sama lain sebagai makhluk sosial
Dorongan untuk berinteraksi tidak hanya datang dari faktor fisik. Manusia
memiliki kebutuhan sosial (Social needs) untuk memiliki teman dan menyayangi
orang lain. Secara otomatis manusia akan berkelompok sesuai kebutuhan atau
kepentingannya. Misalnya seorang artis akan cenderung mencari teman sesama
artis, seorang mahasiswa aktifis akan berteman dengan sesama aktifis, dan
sebagainya.
Manusia secara kodrati diciptakan sebagai makhluk sosial. Hal ini juga
berarti apabila seseorang tidak bersosialisasi dengan sesamanya, maka ia tidak
akan bisa menjadi manusia yang seutuhnya
Dapat disimpulkan, bahwa manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, karena
beberapa alasan, yaitu:
a. Manusia
tunduk pada aturan, norma sosial.
b. Perilaku
manusia mengaharapkan suatu penilaian dari orang lain.
c. Manusia
memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain.
d. Potensi
manusia akan berkembang bila ia hidup di tengah-tengah manusia.
B. Interaksi Sosial dan Sosialisasi
1. Pengertian
Interaksi Sosial
Kata interaksi berasal darikata inter dan action. Interaksi adalah proses
dimana orang-orang berkomunikasi saling pengaruh mempengaruhi dalam pikiran dan
tidakan. Interaksi sosial adalah hubungan timbal balik saling mempengaruhi
antara individu, kelompok sosial dan masyarakat. Beberapa pengertian interaksi
sosial yang ada di lingkungan masyarakat, diantaranya yaitu:
1.
Menurut H.Booner dalam bukunya “Social Psychology” memberikan rumusan interaksi sosial,
bahwa: “interaksi sosial adalah hubungan antar dua individu atau lebih,dimana
kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kelakuan
individu yang lain atau sebaliknya”.
2.
Menurut Gillin dan Gillin (1954) yang menyatakan bahwa nteraksi
social adalah hubungan-hubungan antara orang-orang secara individual,
antarkelompok oran, dan orang perorangan dengan kelompok.
3.
Interaksi sosial merupakan hubungan timbal balik antara
individu dengan individu, antara kelompok dengan kelompok, antara individu
dengan kelompok.
Interaksi sosial antarindividu terjadi manakala dua orang
bertemu, interaksi dimulai pada saat itu mereka saling menegur, berjabat
tangan, saing berbicara atau bahkan mungkin berkelahi. Aktivitas-aktivitas
semacam itu merupakan bentuk-bentuk dari interaksi sosial.
2. Faktor – Faktor
yang mendorong terjadinya interaksi sosial
Interaksi sosial terbentuk oleh
faktor–faktor berikut ini :
a.
Tindakan Sosial
Tidak
semua tindakan manusia dinyatakan sebagai tindakan sosial misalnya : Seorang
pemuda yang sedang mengkhayalkan gadis impiannya secara diam-diam. Menurut MAX
WEBER, tindakan sosial adalah tindakan seorang individu yang dapat mempengaruhi
individu-individu lainnya dalam masyarakat. Tindakan sosial dapat dibedakan
menjadi empat macam yaitu :
·
Tindakan Rasional
Instrumental : Tindakan yang dilakukan dengan memperhitungkan kesesuaian antara
cara dan tujuan . Contoh : Bekerja Keras untuk mendapatkan nafkah yang cukup.
·
Tindakan Rasional
Berorientasi nilai : Tindakan-tindakan yang berkaitan dengan nilai-nilai dasar
dalam masyarakat. Contoh: tindakan-tindakan yang bersifat religio-magis.
·
Tindakan
Tradisional ; Tindakan yang tidak memperhitungkan pertimbangan Rasional .
Contoh : Berbagai macam upacara/ tradisi yang dimaksudkan untuk melestarikan
kebudayaan leluhur.
·
Tindakan Ofektif :
Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh seorang/kelompok orang berdasarkan
perasaan/emosi.
b.
Kontak Sosial
Dalam kehidupan sehari-hari
kontak sosial dapat dilakukan dengan cara:
·
Kontak Sosial yang
dilakukan menurut cara pihak – pihak yang berkomunikasi. Cara kontak sosial itu
ada 2 macam yaitu:
1.
Kontak Langsung :
Pihak komunikator menyampaikan pesannya secara langsung kepada pihak komunikan.
2.
Kontak Tidak
Langsung : Pihak komunikator menyampaikan pesannya kepada pihak komunikan
melalui perantara pihak ketiga.
·
Kontak Sosial yang
dilakukan menurut terjadinya proses komunikasi . Ada 2 macam kontak sosial:
1.
Kontak Primer
2.
Kontak Sekunder
c.
Komunikasi Sosial
Komunikasi artinya berhubungan
atau bergaul dengan orang lain. Orang yang menyampaikan komunikasi disebut
komunikator, orang yang menerima komunikasi disebut komunikan. Tidak selamanya
kontak sosial akan menghasilkan interaksi sosial yang baik apabila proses
komunikasinya tidak berlangsungnya secara komunikatif. Contoh: Pesan yang
disampaikan tidak jelas , berbelit – belit , bahkan mungkin sama sekali tidak
dapat dipahami.
3.
Bentuk-bentuk Interaksi Sosial
Macam-macam bentuk interaksi sosial:
Menurut Jumlah Pelakunya
a.
Interaksi antara individu dan individu
Individu
yang satu memberikan pengaruh, rangsangan/stimulus kepada individu lainnya.
Wujud interaksi bisa dalam dalam bentuk berjabat tangan, saling menegur,
bercakap-cakap/mungkin bertengkar.
b.
Interaksi antara individu dan kelompok
Bentuk
interaksi antara individu dengan kelompok: Misalnya : Seorang ustadz sedang
berpidato didepan orang banyak. Bentuk semacam ini menunjukkan bahwa
kepentingan individu berhadapan dengan kepentingan kelompok.
c.
Interaksi antara Kelompok dan Kelompok
Bentuk
interaksi seperti ini berhubungan dengan kepentingan individu dalam kelompok
lain. Contoh : Satu Kesebelasan Sepak Bola bertanding melawan kesebelasan lain.
Menurut Proses
Terjadinya
a.
Imitasi
Imitasi adalah pembentukan nilai
melalui dengan meniru cara-cara orang lain. Contoh : Seorang anak sering kali
meniru kebiasan-kebiasan orang tuanya.
b.
Identifikasi
Identifikasi adalah menirukan
dirinya menjadi sama dengan orang yang ditirunya. Contoh : Seorang anak laki-laki
yang begitu dekat dan akrab dengan ayahnya suka mengidentifikasikan dirinya
menjadi sama dengan ayahnya.
c.
Sugesti
Sugesti dapat diberikan dari
seorang individu kepada kelompok. Kelompok kepada kelompok kepada seorang
individu. Contoh : Seorang remaja putus sekolah akan dengan mudah ikut-ikutan
terlibat “Kenalan Remaja”. Tanpa memikirkan akibatnya kelak.
d.
Motivasi
Motivasi juga diberikan dari
seorang individu kepada kelompok.Contoh : Pemberian tugas dari seorang guru
kepada muridnya merupakan salah satu bentuk motivasi supaya mereka mau belajar
dengan rajin dan penuh rasa tanggung jawab.
e.
Simpati
Perasaan simpati itu bisa juga
disampaikan kepada seseorang/kelompok orang atau suatu lembaga formal pada
saat-saat khusus. Misalnya apabila perasaan simpati itu timbul dari seorang
perjaka terhadap seorang gadis/sebaliknya kelak akan menimbulkan perasaan cinta
kasih/kasih sayang.
f.
Empati
Empati itu dibarengi perasaan
organisme tubuh yang sangat dalam. Contoh jika kita melihat orang celaka sampai
luka berat dan orang itu kerabat kita, maka perasaan empati menempatkan kita
seolah-olah ikut celaka.
Menurut Gillin dan
Gillin
Terbagi menjadi dua, yaitu:
Interaksi sosial
yang asosiatif, yaitu interaksi yang mengarah kepada bentuk-bentuk asosiasi
(hubungan atau gabungan) seperti:
1.
Kerja sama
Suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok
untuk mencapai tujuan bersama. Terdapat 3 bentuk kerja sama, yaitu:
-
Bargaining, pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran
barang dan jasa antara dua organisasi atau lebih.
-
Cooperation, proses penerimaan unsure-unsur baru dalam
kepemimpinan atau pelaksanaan polotik dalam suatu organisasi, sebagai salah
satu cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas organisasi
yang bersangkutan.
-
Coalition, kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang
mempug mempunyai tujuan yang sama.
2.
Akomodasi
Suatu proses penyesuaian sosial dalam interaksi antara
pribadi dan kelompok – kelompok manusia untuk meredakan pertentangan. Terdapat
8 bentuk akomodasi, yaitu:
-
Coertion, suatu bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan
karena adanya paksaan.
-
Compromise, suaru bentuk akomodasi, dimana pihak yang
terlibat masing-masing mengurangi tuntutannya, agar mencapai suatu penyelesaian
terhadap perselisihan yang ada.
-
Arbitration, cara untuk mevcapai compromise apabila pihak
yang berhadapan, tidak sanggup untuk mencapainya sendiri.
-
Mediation, hamper menyerupai arbitration diundang pihak
ketiga yang retial dalam permasalahan yang ada.
-
Concilitiation, suatu usaha untuk mempertemukan keinginan
pihak yang berselisih, bagi tercapainya suatu persetujuan bersama.
-
Tolerantion, bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formil
bentuknya.
-
Stelemate, suatu akomodasi dimana pihak-pihak yang
berkepentingan mempunyai yang seimang, berhenti pada titik tertentu dalam
melakukan pertentangannya.
-
Adjudication, perselisihan perkara atau sengketa di
pengadilan.
3.
Asimilasi
Proses sosial yang timbul bila ada kelompok masyarakat dengan latar
belakang kebudayaan yang berbeda, saling bergaul secara intensif dalam jangka
waktu lama, sehingga lambat laun kebudayaan asli mereka akan berubah sifat dan
wujudnya membentuk kebudayaan baru sebagai kebudayaan campuran.
4.
Akulturasi
Proses sosial yang timbul, apabila suatu kelompok masyarakat manusia dengan
suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan
asing sedemikian rupa sehingga lambat laun unsur-unsur kebudayaan asing itu
diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya
kepribadian dari kebudayaan itu sendiri.
Interaksi
sosial yang bersifat disosiatif, yaitu interaksi yang mengarah kepada bentuk –
bentuk pertentangan atau konflik, seperti:
1. Persaingan
Suatu
perjuangan yang dilakukan perorangan atau kelompok sosial tertentu, agar
memperoleh kemenangan atau hasil secara kompetitif, tanpa menimbulkan ancaman
atau benturan fisik di pihak lawannya
2. Kontravensi
Bentuk
proses sosial yang berada di antara persaingan dan pertentangan atau konflik.
Wujud kontravensi antara lain sikap tidak senang, baik secara tersembunyi
maupun secara terang – terangan yang ditujukan terhadap perorangan atau
kelompok atau terhadap unsur – unsur kebudayaan golongan tertentu. Sikap
tersebut dapat berubah menjadi kebencian akan tetapi tidak sampai menjadi
pertentangan atau konflik.
3. Konflik
Proses
sosial antar perorangan atau kelompok masyarakat tertentu, akibat adanya
perbedaan paham dan kepentingan yang sangat mendasar, sehingga menimbulkan
adanya semacam gap atau jurang pemisah yang mengganjal interaksi sosial di
antara mereka yang bertikai tersebut.
4.
Sosialisasi
Peter Berger mendifinisikan
sosialisasi sebagai “a process by which a child learns to be a participant
member of society” yaitu suatu proses di mana seorang anak belajar menjadi
seorang anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat (Berger, 1978:116).
Definisi ini disajikannya dalam suatu pokok pembahasan berjuduk society in man; dari sini tergambar
pandangannya bahwa melalui sosialisasi masyarakat dimasukan ke dalam manusia.
Salah satu teori peranan
dikaitkan sosialisasi ialah teori George Herbert Mead. Dalam teorinya yang
diuraikan dalam buku Mind, Self and
Society (1972), Mead menguraikan tahap-tahap pengembangan secara bertahap
melalui interaksi dengan anggota masyarakat lain. Menurut Mead pengembangan
diri manusia ini berlangsung melalui beberapa tahap-tahap play stage, tahap game stage,
dan tahap generalized other.
Menurut Mead setiap anggota baru
masyarakat harus mempelajari peranan-peranan yang ada dalam masyarakat yaitu
proses yang dinamakannya pengambilan peranan (role talking). Dalam proses ini seseorang belajar untuk mengetahui
peranan yang harus dijalakannya serta peranan yang harus dijalankan orang lain.
Melalui penguasaan peranan yang ada dalam masyarakat ini seseorang dapat
berinteraksi dengan orang lain.
Menurut Mead pada tahap pertama, play stage, seorang anak kecil mulai
belajar mengambil peranan orang-orang yang berada di sekitarnya. Ia mulai
menirukan peranan yang dijalankan oleh orang tuanya, misalnya, atau peranan
orang dewasa lain dengan siapa ia sering berinteraksi. Dengan demikian, kita
sering melihat anak kecil yang di kala bermain meniru peranan yang dijalankan
ayah, ibu, kakak, nenek, polisi, dokter, tukang pos, supir dan sebagainya.
Namun, pada tahap ini sang anak belum sepenuhnya memahami isi peranan-peranan
yang ditirunya itu. Seorang anak dapat meniru kelakuan ayah atau ibu ke tempat
kerja, misalnya, tetapi mereka tidak memahami alasan ayah atau ibu untuk
bekerja dan makna kegiatan yang dilakukan ayah atau ibu di tempat kerja.
Seorang anak dapat berpura-pura menjadi petani, dokter, polisi tetapi tidak
mengetahui mengapa petani mencangkul, dokter menyuntik pasien dan polisi
menginterogasi tersangka pelaku kejahatan.
Pada tahap game stage seorang anak tidak hanya telah mengetahui peranan yang
hanya dijalankannya, tetapi telah pula mengetahui peranan yang harus dijalankan
oleh seorang lain dengan siapa ia berinteraksi. Contoh yang diajukan Mead ialah
keadaan dalam suatu pertandingan: seorang anak yang bermain dalam suatu
pertandingan tidak hanya mengetahui apa yang diharapkan orang lain darinya,
tetapi juga apa yang diharapkan dari orang lain yang ikut bermain dalam
pertandingan tidak hanya mengetahui ikut bermain dalam pertandingan tersebut.
Di kala bermain sebagai penjaga gawang dalam suatu pertandingan sepak bola,
misalnya, ia mengetahui peranan-peranan yang dijalankan oleh para pemain lain
(baik kesebelasan kawan maupun lawan), wasit, penjaga garis dan sebagainya.
Oleh Mead dikatakan bahwa pada tahap ini seseorang telah mengambil peranan
orang lain.
Pada tahap awal sosialisasi,
interaksi seorang anak biasanya terbatas pada sejumlah kecil orang lain, biasanya
anggota keluarga terutama ayah dan ibu. Oleh Mead orang-orang yang penting
dalam proses sosialisasi ini dinamakan significant
others. Pada tahap ketiga sosialisasi, seseorang dianggap telah mampu
mengambil peranan-peranan yang dijalankan orang lain dalam masyarakat yaitu
mampu mengambil peranan generalized
others. Ia telah mampu berinteraksi dengan orang lain dalam masyarakat
karena telah mengalami peranannya sendiri serta peranan orang-orang lain dengan
siapa ia berinteraksi. Selaku anak ia telah memahami peranan yang dijalankan
orang tua; selaku siswa ia memahami peranan guru; selaku anggota Gerakan
pramuka ia memahami peranan para pembinanya. Jika seseorang telah mencapai
tahap ini maka menurut Mead orang tersebut telah mempunyai suatu diri. Dari pandangan-pandangan
Mead ini nampak jelas pendiriannya bahwa diri seseorang terbentuk melalui
interaksi dengan orang lain.
Pandangan lain yang juga
menekankan pada peranan interaksi dalam proses sosialisasi tertuang dalam buah
pikiran Charles H. Cooley. Menurut Cooley konsep diri (self-concept) seseorang berkembang melalui interaksinya dengan
orang lain. Diri yang berkembang melalui interaksi dengan orang lain ini oleh
Cooley diberi nama looking-glass self.
Nama demikian diberikan olehnya karena ia melihat analogi antara
pembentukandiri seseorang dengan perilaku orang yang sedang bercermin; kalau
cermin memantaukan apa yang terdapat di depannya maka menurut Cooley diri
seseorang memantaukan apa yang dirasakannya sebagai tanggapan masyarakat
terhadapnya.
Cooley berpendapat bahwa looking-glass self terbentuk melalui tiga tahap. Pada tahap
pertama seseorang mempunyai persepsi mengenai pandangan orang lain terhadapnya.
Pada tahap berikut seseorang mempunyai persepsi mengenai penilaian orang lain
terhadap penampilannya. Pada tahap ketiga seseorang mempunyai perasaan terhadap
apa yang dirasakannya sebagai penilaian orang lain terhadapnya itu (lihat
Horton dan Hunt, 1984:94-97)
Untuk memahami pendapat Cooley di
sini akan disajikan suatu contoh. Seorang mahasiswa yang cenderung memperoleh
nilai-nilai rendah dalam ujian-ujian semesternya, misalnya bahwa para dosen
dalam jurusannya menganggapnya bodoh. Ia merasa pula bahwa karena ia deinilai
bodoh maka ia kurang dihargai para dosennya. Oleh karena merasa kurang dihargai
mahasiswa tersebut menjadi murung. Jadi di sini perasaan diri sendiri yang
merupakan pencerminan dari penilaian orang lain (looking-glass self). Dalam kasus tersebut di atas, pelecehan oleh
dosen ini ada dalam benak si mahasiswa dan mempengaruhi pandangannya mengenai
dirinya sendiri, terlepas dari soal apakah dalam kenyataan para dosen memang
berperasaan demikian terhadapnya.
Apa yang terjadi bila seorang
anak tidak mengalami sosialisasi? Karena kemampuan seseorang untuk berperan
sebagai anggota masyarakat tergantung pada sosialisasi, maka seseorang yang
tidak mengalami sosialisasi tidak akan dapat berinteraksi dengan orang lain.
Hal ini terungkap dari kasus anak-anak yang ditemukan dalam keadaan terlantar (feral children). Giddens (1990)
mengisahkan kasus anak-anak yang tidak disosialisasi (olehnya dinamakan unsocialized children), yaitu seorang
anak laki-laki berusia sekitar 11-12 tahun yang pada tahun 1900 ditemukan di
desa Saint-Serin, Perancis dan kasus gadis berusia tiga belas tahun di
California, Amerika Serikat yang disekap ayahnya dalam gudang gelap sejak
berusia satu setengah tahun; Light, Keller dan Calhoun (1989) mengisahkan kasus
Anna yang semenjak bayi dikurung ibunya dalam gudang selama lima tahun.
Dari kasus-kasus tersebut
terungkap bahwa anak-anak yang ditemukan tersebut tidak berperilaku sebagai
manusia. Mereka tidak dapat berpakaian, buang air besar dan kecil dengan tertib
atau berbicara. Anna tidak dapat makan sendiri atau mengunyah dan juga tidak
dapat tertawa atau menangis. Setelah berkomunikasi dengan masyarakat lambat
laun anak-anak ini dapat mempelajari beberapa di antara kemampuan yang dimiliki
manusia sebaya mereka, namun mereka tidak pernah tersosialisasi secara wajar
dan cenderung meninggal pada usia muda.
Kasus-kasus ini memberikan pada
kita gambaran mengenai apa yang terjadi bila seorang anak tidak disosialisasi
dan menunjukan bahwa meskipun mereka disosialisasi namun kemampuan mereka tidak
dapat menyamai kemampuan anak lain yang sebaya dengan mereka. Kasus-kasus
tersebut pun memberikan petunjuk bahwa kemampuan-kemampuan tertentu seperti
kemampuan berbahasa hanya dapat diajarkan pada periode tertentu dalam kehidupan
anak; bila proses sosialisasinya terlambat dilaksanakan maka proses tersebut
tidak akan berhasil atau hanya berhasil untuk sebagian saja
Siapa yang melaksanakan proses
sosialisasi? Dalam sosiologi kita berbicara mengenai agen-agen sosialisasi (agents of socialization) atau
pihak-pihak yang melaksanakan sosialisasi. Fuller dan Jacobs (1973:168-208)
mengidentifikasikan agen sosialisasi utama: keluarga, kelompok bermain, media
massa dan sistem pendidikan. Meskipun klasifikasi ini dibuat untuk masyarakat
Amerika, namun diterapkan pula pada masyarakat kita.
Pada awal kehidupan manusia
biasanya agen sosialisasi atas orang tua dan saudara kandung. Pada masyarakat
yang mengenal sistem keluar luas agen sosialisasi bisa berjumlah lebih banyak
dan dapat mencakup pula nenek, paman, bibi dan sebagainya. Pada sistem komunal
yang dijumpai di Republik Rakyat Cina atau berbagai negara Eropa Timur sebelum
runtuhnya Uni Soviet, pada sistem Kibbutz di Israel atau pada sistem penitipan
anak dalam hal kedua orang tua bekerja, sosialisasi terhadap anak di bawah usia
lima tahun mungkin dilakukan pula oleh orang lain yang sama sekali bukan
kerabat seperti tetangga, baby sitter, pekerja sosial, petugas tempat penitipan
anak dan sebagainya. Di kalangan lapisan menengah dan atas dalam masyarakat
perkotaan sering kali pembantu rumah tangga pun memegang peranan penting
sebagai agen sosialisasi anak, setidaknya pada tahap awal.
Gertrude Jaeger (1977)
mengemukakan bahwa peranan para agen sosialisasi pada tahap awal ini, terutama
orang tua, sangat penting. Sang anak (khususnya pada masyarakat modern Barat)
sangat tergantung pada orang tua dan apa yang terjadi antara orang tua dan anak
pada tahap ini jarang diketahui orang luar. Dengan demikian, anak tidak
terlindung terhadap mereka seperti penganiayaan, perkosaan dan sebagainya.
Dalam media massa kita pun berulang kali membaca mengenai kesewenangan yang
dilakukan orang tua masyarakat kita terhadap anak-anak mereka, yang dalam
beberapa kasus mengakibatkan kematian si anak.
Apabila pesan-pesan yang
disampaikan oleh agen-agen sosialisasi dalam masyarakat sepadan dan tidak
saling bertentangan melainkan saling mendukung maka proses sosialisasi
diharapkan dapat berjalan relatif lancar. Namun dalam masyarakat yang di
dalamnya terdapat agen sosialisasi dengan pesan yang bertentangan dijumpai
kecenderungan bahwa warga masyarakat yang menjalani proses sosialisasi sering
mengalami konflik pribadi karena diombang-ambingkan oleh agen sosialisasi yang
berlainan. Seorang anak sering harus memilih antara menaati orang tua atau
mengikuti teman dan pilihan apapun yang diambilnya akan mempertentangkannya
dengan salah satu agen sosialisasi. Konflik pribadi pun akan terjadi manakala
seseorang disosialisasi karena mempelajari peranan baru dan aturan dalam proses
sosialisasi ini bertentangan dengan sosialisasi yang pernah dialami di masa
lampau.
Perbedaan hasil belajar karena
adanya perbedaan pola sosialisasi masyarakat yang berlainan dikaji secara
mendalam oleh Urie Bronfenbrenner (1970). Dalam tulisannya mengenai dunia
anak-anak di Amerika Serikat lebih cenderung menghasilkan anak dengan perilaku
lain seperti teman bermain yang cenderung menentang orang tua dan televisi yang
cenderung memupuk perilaku antisosial. Pola sosialisasi di Uni Soviet, di lain
pihak, menampilkan kesepadanan antara pesan-pesan yang disampaikan oleh berbagai
agen sosialisasi seperti keluarga, sekolah dan lingkungan di luar sekolah yang
menghasilkan perilaku proporsional.
5. Bentuk dan Pola Sosialisasi
a.
Bentuk-Bentuk
Sosialisasi
Sosialisasi merupakan suatu
proses yang berlangsung sepanjang hidup manusia. Dalam kaitan inilah para pakar
berbicara mengenai bentuk-bentuk proses sosialisasi seperti sosialisasi setelah
masa anak-anak, pendidikan sepanjang hidup atau pendidikan berkesinambungan.
Light et al. (1989:130) mengemukakan bahwa setelah sosialisasi dini yang dinamakannya
sosialisasi primer dijumpai sosialisasi sekunder. Berger dan Luckmann (1967)
mendefinisikan sosialisasi primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani
individu semasa kecil, melalui mana ia menjadi anggota masyarakat, sedangkan
sosialisasi sekunder mereka definisikan sebagai proses berikutnya yang
memperkenalkan individu yang telah disosialisasi ke dalam sektor baru dari
dunia obyektif masyarakat (Berger dan Luckmann, 1967:130).
Salah satu bentuk sosialisasi
sekunder yang sering dijumpai dalam masyarakat ialah apa yang dinamakan proses
resosialisasi yang didahului dengan proses desosialisasi. Dalam proses
resosialisasi seseorang diberi suatu diri yang berlangsung dalam apa yang oleh
Goffman dinamakan institusi total. Suatu tempat tinggal dan bekerja yang
didalamnya sejumlah individu dalam situasi sama, terputus dari masyarakat yang
lebih luas untuk suatu jangka waktu tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang
terkungkung dan diatur secara formal (Goffman, 1961:xiii).
Dalam
sosialisasi primer tidak ada masalah identifikasi. Orang-orang yang berpengaruh
tidak dapat dipilih. Masyarakat menyediakan sekelompok orang-orang berpengaruh
tertebtu. Oleh karena itu si anak tidak punya pilihan lain dalam menentukan
pengaruh-pengaruhnya, maka pengidentifikasian dirinya dengan mereka merlangsung
secara kuasi-otomatis. Oleh karena itulah maka dunia yang diinternalisasikan
dalam sosialisasi primer jauh lebih kuat tertanam dalam kesadaran sosialisasi
sekunder.
Sudah
tentu isi-isi khusus yang diinternalisasikan dalam sosialisasi primer jauh
lebih kuat tertanam dalam kesadaran sosialisasi sekunder.
Sudah
tentu isi-isi khusus yang diinternalisasi dalam sosialisasi primer berbeda dari
masyarakat ke masyarakat. Tetapi ada juga yang dimana-mana sama. Maka, dalam
sosialisasi primerlah dunia pertama individu terbentuk.
Sosialisasi
primer menyangkut tahap-tahap belajar yang ditentukan secara sosial. Sifat
sosialisasi primer juga dipengaruhi oleh berbagai persyaratan dalam pengalihan
cadangan pengetahuan. Legitimasi tertentu mungkin menuntut tingkat kompleksitas
linguistik yang lebih tinggi bagi pemahamannya dibandingkan dengan legitimasi
lainnya.
Sosialisasi
primer berakhir apabila konsep tentang orang lain pada umumnya (dan segala
sesuatu yang menyertainya) telah terbentuk dan tertanam dalam kesadaran
individu. Pada titik ini ia sudah merupakan anggota efektif masyarakat dan
secara subyektif memiliki suatu diri dan sebuah dunia.
Kita
bisa membayangkan suatu masyarakat di mana tidak terjadi sosialisasi lebih
lanjut setelah sosialisasi primer. Dengan sendirinya, masyarakat seperti itu
akan merupakan sebuah masyarakat dengan khazanah pengetahuan yang sederhana
sekali. Semua pengetahuan akan relevan secara umum, di mana individu hanya
berbeda dalam perspektif mereka mengenai pengetahuan itu. Konsepsi ini berguna
untuk menetapkan suatu kasus batas, tetapi sejauh ini kita tidak mengenal suatu
masyarakat yang tidak mempunyai suatu tingkat pembagian kerja, dan seiring
dengan itu, suatu tingkat distribusi pengetahuan; dan kalau keadaannya sudah
demikian maka sosialisasi sekunder menjadi perlu.
b.
Pola-Pola
Sosialisasi
Pada
dasarnya kita mengenal dua pola sosialisasi, yaitu pola yang represi (dengan
kekerasan/hukuman) dan pola partisipatori (partisipasi).
Belakangan
ini kita dikejutkan oleh beberapa kasus hukuman fisik, yang dilakukan orang tua
terhadap anak mereka yang dinilai tidak menaati perintah sehingga mengakibatkan
kematian anak tersebut. Kasus ini merupakan contoh ekstrem dari satu pola
sosialisasi yang oleh Jaeger (1977, dengan mengutip karya Bronfenbrenner dan
Kohn) dinamakan sosialisasi dengan cara represi (repressive socialization) sosialisasi dengan cara represi
menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Menurut Jaeger
sosialisasi dengan cara represi pun mempunyai ciri-ciri lain seperti penekanan
pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan; penekanan pada kepatuhan anak
pada orang tua; penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah, non verbal
dan berisi perintah; penekanan titik berat sosialisasi pada orang tua dan pada
keinginan orang tua; dan peranan keluarga sebagai significant other.
Pola
kedua yang disebutkan Jaeger ialah sosialisasi dengan cara partisipasi (participantory socialization).
Sosialisasi dengan cara tersebut menurut Jaeger merupakan pola yang di dalamnya
anak diberi imbalan manakala berperilaku baik; hukuman dan imbalan bersifat
simbolis; anak diberi kebebasan; peneksanan diletakan pada interaksi;
komunikasi bersifat lisan; anak menjadi pusat sosialisasi; kebutuhan anak
dianggap penting; dan keluarga menjadi generalized
other.
C. Masyarakat
dan Komunitas
Konsep
masyarakat (society) dan masyarakat setempat (community) adalah konsep yang
sering digunakan dalam membahas
masalah-masalah lingkungan sosial budaya dan teknlogi. Oleh karena itu, pemahaman
terhadap dua konsep tersebut sangatlah penting. Dalam kehidupan sehari-hari
penggunaan dua konsep ini saling tertukarkan (interchangeable). Kedua konsep
ini memiliki ciri khas yang berbeda.
1. Masyarakat
(society)
Dalam kehidupan sehari-hari istilah atau kata
masyarakat sering muncul, seperti dalam contoh berikut ini:
a) Masyarakat
sudah banyak berkorban untuk kepentingan PEMILU, sementara para anggota DPR
malah bertengkar memperebutkan kedudukan.
b) Rakyat
sudah banyak berkorban untuk kpentingan PEMILU, sementara para anggota DPR
malah bertengkar memperebutkan kedudukan.
c) Masyarakat
komplek perumahan Tamansari Indah bergotong royong membersihkan solokan.
Penggunaan kata masyarakat sering sekali
tercampuradukan dalam kehidupan sehari-hari. Di satu waktu kita menggunakan
kata”masyarakat” sesuai dengan makna kata “masyarakat” itu sendiri. Tetapi
terkadang kita menggunakan kata masyarakat untuk makna bukan yang sebenarnya.
Sepeti kata “rakyat” kita gunakan juga istilah masyarakat untuk
menggantikannya, atau juga sebaliknya kita menggunakan kata “rakyat” untuk
menggantikan kata “masyarakat”.
Lebih jauh lagi kita sering menggunakan istilah
“masyarakat” dan “komunitas” seperti dalam contoh (c) diatas. Istilah masyarakt
dalam bahasa inggrisnya society. Sedangkan komunitas bahasa inggrisnya
community.
Dalam kontek keseharian, sering kali terjadi
kesalahan pemahaman antara society dan community. Dua istilah
(konsep) tersebut sering ditafsirkan secara sama, padahal sangat berbeda
artinya. Society atau masyarakat berbeda dengan komunitas (community) atau
masyarakat setempat.
Terdapat perbedaan mendasar antara kedua konsep
tersebut. Beberapa definisi mengenai masyarakat bisa dilihat dibawah ini:
a) Krech,
seperti yang dikutip nursid, mengemukakan bahwa “ a society is that it is an
organized collectivity of interacting people whose activities become centered
arounds a set of common goals ,and who tend to share common beliefs, attitudes,
and modes of action”
Jadi unsur masyarakat
adalah:
a. Kumpulan
orang
b. Sudah
terbentuk dengan lama
c. Sudah
memiliki sistem sosial atau stuktur sosial tesendiri
d. Memiliki
kepercayaan, sikap, dan prilaku yang dimiliki bersama.
b)
Krech, Crutchfield, dan Ballachey
(1975:308) mengemukakan definisi masyarakat sebagai ” a society is that it
is an organized collectivity of interacting people whose activities become
centered arounds a set of common goals ,and who tend to share common beliefs,
attitudes, and of action.”
Unsur masyarakat
berdasarkan definisi ini, adalah:
1. Kolektivitas
interaksi manusia yang terorganisasi.
2. Kegiatan
terarah pada sejumlah tujuan yang sama.
3. Memiliki
kecenderungan untuk memiliki keyakinan, sikap, dan bentuk tindakan yang sama.
Pada konsep ini, masyarakat lebih dicirikan oleh
interaki, kegiatan, tujuan, keyakinan, dan tindakan sejumlah manusia yang
sedikit banyak berkecenderungan sama. Dalam masyarakat tersebut terdapat
ikatan-ikatan berupa tujuan, keyakinan, tindakan terungkap pada interaksi
manusianya. Dalam hal ini, interaksi dan tindakan itu tentu saja, interaksi
serta tindakan sosial.
c)
Fairchild et al (1980:300) memberikan
batasan masyarakat seagai berikut: society is a group human beings
cooperating in the pursuit of sveral of their major interest, invariably
including selfmaintenance and self –perpetuation. The concept of society
includes continuity, complex associationl relationships, and a composition
including representatives of fundamental human types, specially men, women, and
children.
Unsur masyarakat
menurut definisi tadi adalah:
1. Kelompok
manusia
2. Adanya
keterpaduan atau kesatuan diri berlandaskan kepentingan utama
3. Adanya
pertahanan dan kekekalan diri
4. Adanya
kesinambungan
5. Adanya
hubungan yang pelik diantara anggotanya
Menurut konsep ini, karakteristik dari masyarakat
itu adalah adanya sekelompok manusia yang menunjukan perhatian bersama secara
mendasar, pemeliharaan kekekalan bersama, perwakilan manusia menurut sejenisnya
yang berhubungan satu sama lain secara berkesinambungan. Dengan demikian,
relasi manusia sebagai suatu bentuk masyarakat itu, tidak terjadi dalam waktu
yang singkat, melainkan secara berkesinambungan dalam waktu yang relatif cukup
lama.
d)
Akhirnya, dapat dikemukakan
definisi masyarakat menurut Horton dan Hunt (1982: 47) sebagai berikut, A
society is a relatively independents, self- perpetuating human group who accupy
territory, share a culture, and have most of thir associations within this
group.
Unsur masyarakat menurut konsep Horton dan Hunt
adalah:
1. Kelompok
manusia
2. Yang
sedikit banyak memiliki kebebasan dan bersifat kekal
3. Menempati
suatu kawasan
4. Memiliki
kebudayaan
5. Memiliki
hubungan dalam kelompok yang bersangkutan
Dengan demikian, karakteristik dari masyarakat itu
terutama terletak pada kelompok manusia yang bebas dan bersifat kekal,
memempati kawasan tertentu, memiliki kebudayaan serta terjalin dalam suatu
hubungan diantara anggota-anggotanya.
Diantara istilah (konsep) masyarakat
yang telah dikemukakan diatas, tidak ada perbedaan ungkapan yang mendasar,
justru yang ada yaitu mengenai persamaannya. Yang utama, masyarakat itu
merupakan kelompok atau kolektifitas manusia yang melakukan antar hubungan
sedikit banyak bersifat kekal, berlandaskan perhatian dan tujuan bersama serta
telah melakukan jalinan secara berkesinambugan dalam waktu yang relatif lama.
Bagaimanapun, kelompok yang melakukan jalinan sosial dalam waktu yang relatif
lama itu pasti menempati kawasan tertentu. Meskipun pada dua konsep terdahulu
tidak dinyatakan tentang kaawasan itu, secara ekplisit tersirat pada
kontinuitas dan kekekalan. Hubungan antara manusia itu tidak dapat
berkesinambungan dan kekal, jika tidak terjadi dalam suatu wadah yang kita
sebut kawasan atau daerah. Salah satu unsur masyarakat lainnya yang melekat,
yaitu adanya kebudayaan yang dihasilkan oleh masyarakat tersebut. Pengertian
kebudayaan disini, meliputi tradisi, nilai, norma, upacara-upacara tertentu,
dan lain-lain yang merupakan pengikut serta melekat pada interaksi sosial warga
masyarakat yang bersangkutan.
Dari sekian banyak unsur masyarakat
yang dikemukakan para ahli diatas, dapat kita simpulkan sebagai berikut:
1.
Kumpulan orang
2.
Sudah terbentuk dengan lama
3.
Sudah memiliki sistem dan struktur
sosial tersendiri
4.
Memiliki kepercayaan, sikap, dan prilaku
yang dimiliki bersama
5.
Adanya kesinambungan dan pertahanan diri
6.
Memiliki kebudayaan
Berdasarkan pengamatan dan penghayatan, kita setuju
bahwa manusia sejak lahir sampai mati ia selalu terikat dengan masyarakat.
Sepanjang hayat dikandung badan, kita tidak akan lepas dari masyarakat, mencari
nafkah, serta menerima pengaruh dari lingkungan sosial yang disebut masyarakat.
Karena tiap orang ada dalam konteks sosial yang disebut masyarakat, ia akan
mengenal orang lain, dan paling utama mengenal diri sendiri selaku anggota masyarakat.
Kepentingan yang melekat pada diri masing-masing menjadi dasar interaksi sosial
yang mewujudkan masyarakat sebagai wadahnya.
2. Masyarakat
Setempat ( community )
Pemakaian kata masyarakat sehari-hari biasanya
meliputi juga”community” dalam bahasa Inggris atau pada masyarakat yang
berbahasa inggris. Sesungguhnya antara society dan community itu
ada perbedaan yang mendasar. Namun, dalam bahasa Indonesia “seolah-olah” sama
saja.
Community is a sub-group many of the characteristic
of society, but on a smaller scale, and with less extensice and coordinated
common interest. Implict in the concept of “community” is a territorial area, a
considerable degree of interpersonalacquaintance and contact, and some special
basic of coberence that separates it from neighbouring groups. The community
has more limited self-sufficincy, but within those limits has closer
association and deeper sympathy (fairchild, et al. 1980:52).
Dalam pengertian ini, community (masyarakat
setempat) atau komunitas merupakan bagian kelompok dari masyarakat (society)
dalam lingkup yang lebih kecil serta ikatan kebersamaannya kurang kuat. Mereka
lebih terikat oleh tempat (teritorial).
Menurut prof. Dr.Soerjono Soekanto. Istilah community
dapat diterjemahkan sebagai “masyarakat setempat”, istilah mana menunjuk pada
warga-warga sebuah desa, sebuah kota, suku atau suatu bangsa. Apabila
angota-anggota suatu kelompok, baik kelompok itu besar atau kecil, hidup
bersama sedemikian rupa sehinng mereka merasakan bahwa kelompok tersebut dapat
memenuhi kepentingan-kepentingan hidup yang utama, maka kelompok tadi dapat
disebut masyarakat setempat. Intinya mereka menjalin hubungan sosial (social
relatonship).
Dengan mengambil pokok-pokok uraian diatas, dapat
dikatakan bahwa masyarakat setempat menunjuk pada bagian masyarakat yang
bertempat tinggal di suatu wilayah (dalam arti geografis) dengan batas-batas
tertentu dimana faktor utama yang menjadi dasarnya adalah interaksi yang lebih
besar diantara anggota-anggotanya, dibandingkan interaksi dengan penduduk diluar
batas wilayahnya.
Dapat disimpulkan bahwa masyarakat setempat (community)
adalah suatu wilayah kehidupan sosial yang ditandai oleh suatu derajat hubungan
sosial yang tertentu. Dasar-dasar dari masyarakat setempat adalah lokalitas dan
perasaan semasyarakat setempat.
Jadi
usur pertama dari komunitas ialah adanya wilayah atau lokalitas. Suatu
komunitas pasti mempunyai lokalitas atau tempat tinggal tertentu. Meskipun
suatu kelompok manusia mereka adalah pengembara, namun pada suatu saat tertentu
mereka menempati wilayah tertentu.
Unsur
yang kedua dari komunitas adalah perasaan saling ketergantungan atau saling
membutuhkan. Perasaan anggota masyarakat setempat dengan anggota lainnya
didasari adanya persamaan tempat tinggal.
Perasaan
bersama antara anggota masyarakat setempat tersebut diatas disebut community
sentiment. Setiap community sentiment memiliki unsur:
1. Seperasaan
2. Sepenanggungan
3. Saling
memerlukan
Unsur seperasaan muncul karena anggota komunitas
memosisikan dirinya sebagai bagian dari kelompok lain yang lebih besar. Mereka
menganggap dirinya sebagai ”kami” ketimbang dengan “saya”. Umpamanya “tujuan
kami”, “kelompok kami”, atau “perasaan kami”.
Unsur sepenanggungan muncul karena setiap anggota
masyarakat setempat sadar akan perannya dalam kelompok. Setiap anggota
menjalankan perannya sesuai dengan posisi kedudukannya masing-masing.
Unsur saling memerlukan muncul karena setiap anggota
dari komunitas tidak bisa memenuhi kebutuhannya tanpa bantuan anggota lainnya.
Ada saling ketergantungan untuk memenuhi kebutuhan fisik dan psikologisnya.
Pengertian masyarakat (socety)
jelas berbeda dengan pengertian masyarakat setempat (community) atau komunitas.
Pengertian masyarakat(society) sifatnya lebih umum dan lebih luas, sedangkan
pengertian masyarakat setempat (community) lebih terbatas dan juga dibatasi
oleh areal kawasannya, serta jumlah warganya. Namun, ditinjau dari aktivitas
hubungannya , lebih erat pada masyarakat setempat (community) daripada
masyarakat (society), dan persatuannya juga lebih erat.
3.
Masyarakat Desa dan Masyarakat Kota
Sebuah desa sering kali ditandai dengan kehidupan
yang tenang, jauh dari hiruk pikuk keramaian, penduduknya ramah tamah, saling
mengenal satu sama lain, mata pencaharian penduduknya kebanyakan sebagai
petani, atau nelayan. Orang di desa mempunyai hubungan yang lebih erat dan
mendalam antar sesama warganya. Sistem kehidupan biasanya berkelompok dan atas
dasar kekeluargaan.
Pekerjaan bertani biasanya dilakukan bersama-sama
dengan anggota masyarakat lainnya karena biasanya sebuah keluarga tidak akan
cukup untuk melakukan pekerjaan tersebut. Dari kebiasaan bekerjasama tersebut,
timbullah yang namanya gotong royong. Oleh karena itu, pada masyarakat desa
jarang ditemui pekerjaan berdasarkan keahlian, akan tetapi biasanya pekerjaan berdasarkan
usia, kemampuan fisik, dan jenis kelamin.
Usia dan kekokohan sangat berperan dalam kehidupan
orang desa. Golongan orang-orang tua pada masyarakat desa pada umumnya memegang
peranan penting. Orang-orang akan selalu meminta nasehat-nasehat kepada mereka,
apabila ada kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Kesukarannya adalah bahwa
orang-orang tua itu memiliki pandangan-pandangan yang berdasarkan pada tradisi
yang kuat, sehingga perubahan akan sangat sulit terjadi.
Desa dapat mengalami perubahan. Unsure-unsur kota
dapat masuk ke dalamnya. Begitu pula dengan kota, meskipun disebut dengan kota,
namun kebiasaan-kebiasaan desa masih ada yang melekat didalamnya.
Sebuah kota ditandai dengan kehidupan yang ramai,
wilayahnya yang luas, banyak penduduknya, hubungan yang tidak erat satu sama
lain, dan mata pencaharian penduduknya yang bermacam-macam.
Menurut Soerjono Soekamto, masyarakat kota dan
masyarakat desa memiliki perhatian yang berbeda, khususnya perhatian dalam
keperluan hidup. Di desa, yang diutamakan adalah perhatian terhadap khusus
terhadap kebutuhan pokok, fungsi-fungsi yang lainnya diabaikan. Lain dengan
masyarakat kota, mereka melihat selain kebutuhan pokok, pandangan masyarakat
sekitarnya sangat diperhatikan. Kalau menghidangkan makanan misalnya, diusahakan
dengan memberikan kesan bahwa yang menghidangkannya memiliki kedudukan sosial
yang tinggi. Bila ada tamu misalnya, diusahakan menghidangkan makanan dalam
kemasan yang kesannya makanan itu dibeli dari toko makanan, selain enak juga
mahal. Pada orang-orang desa, hal itu tidak dipedulikan. Mereka memasak makanan sendiri, kemasannya
menarik atau tidak, rasanya enak atau tidak, kurang dipertimbangkan. Pada
masyarakat kota, makanan harus terlihat mewah dan tempat menghidangkannyapun
harus mewah dan terhormat. Disini, terlihat ada perbedaan penilaian, orang desa
menilai makanan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan biologis, sedangkan bagi
orang kota sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan sosial.
Pembagian kerja pada masyarakat kota sudah sangat
terspesialisasi. Begitu juga jenis profesi pekerjaan sudah sangat banyak
macamnya (heterogen). Dari sudut keahlian (spesialisasi), seseorang mendalami
pekerjaan pada satu jenis keahlian yang semakin spesifik, contohnya : ada
dokter THT, dokter ahli penyakit dalam, dan lain sebagainya.
Antar satu jenis pekerjaan dengan pekerjaan lain
sangat erat kaitannya, ada saling ketergantungan diantara mereka. Ibu-ibu rumah
tangga sangat bergantung pada tukang sayur, pada tukang listrik, tukang gas,
sehingga kegiatan rumah tangga akan terganggu jika salah satu dari mereka tidak
ada.
Ada saling ketergantungan yang tinggi antara anggota
masyarakat yang satu dengan yang lainnya kerena ada perbedaan pekerjaan. Satu
jenis pekerjaan dengan pekerjaan lainnya ada saling ketergantungan. Saling
ketergantungan antara satu anggota masyarakat dengan masyarakat lainnya yang
disebabkan oleh perbedaan pekerjaan (heterogenitas pekerjaan) manurut Emile
Durkheim disebut dengan solidaritas
organis (organic solidarity).
Disisi lain masyarakat desa memiliki jenis pekerjaan
yang sama, seperti beladang, bertani, atau sebagai nelayan. Kehidupan orang
desa yang memiliki jenis pekerjaan yang sama (homogen) sangat menggantungkan
pekerjaannya kepada keluarga lainnya. Mereka tidak bias mengerjakan semuanya oleh
keluarganya sendiri. Untuk mengolah tanah, memanen padi, atau pekerjaan bertani
lainnya, mereka harus sepakat dengan yang lain menunggu giliran. Begitu pula
jika ada pekerjaan lain, seperti membuat atau memperbaiki rumah, mereka
mengatur waktunya sehingga dapat dikerjakan secara bersama. Saling
ketergantungan pada masyarakat yang disebabkan oleh adanya persamaan dalam
bidang pekerjaan oleh Emile Durkheim disebut dengan solidaritas mekanis(mechanic solidarity).
Ferdinand Tonnies mengemukakan pembagian masyarakat
dengan sebutan masyarakat gemainschaft dan
geselschaft. Masyarakat gemainschaft
atau disebut juga paguyuban adalah
kelompok masyarakat dimana anggotanya sangat terikat secara emosional satu
dengan yang lainnya. Sedangkan masyarakat geselschaft atau patembeyan ikatan-ikatan diantara anggotanya kurang kuat dan
bersifat rasional. Paguyuban cenderung sebagai refleksi masyarakat desa,
sedangkan patembeyan refleksi masyarakat kota.
4.
Masyarakat Multikultural
Perlu diketahui, ada tiga istilah yang digunakan
secara bergantian untuk menggambarkan masyarakat yang terdiri atas agama, ras,
bahasa dan budaya yang berbeda, yaitu pluralitas (plurality), keragaman (diversity)
dan multi cultural (multicultural).
Sebenarnya ketiga istilah itu tidaklah sama, dimana
masing-masing berbeda dalam penekanannya. Konsep pluralitas menekankan pada
adanya hal-hal yang lebih dari satu (banyak). Keragaman menunjukkan bahwa
keberadaan yang lebih dari satu itu berbeda-beda, heterogen dan bahkan tidak
dapat dipersamakan. Sementara itu konsep multikulturalisme sebenarnya merupakan
konsep yang relatif baru. Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima
kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan
budaya, etnik, gender, bahasa maupun agama. Jadi, apabila pluralitas hanya
menggambarkan adanya kemajemukan, multikulturalisme memberikan penegasan bahwa
dengan segala perbedaan itu, mereka adalah sama di dalam ruang publik. Istilah
multikulturalisme di Indonesia, sebenarnya sudah tidak asing lagi, karena kita
telah memiliki semboyan bhineka tunggal
ika yang menjadi salah satu kesepakatan bersatunya suku bangsa di Indonesia
menjadi sebuah kelompok sosial besar yang disebut Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Samuel P. Huntington (1993) mengemukakan enam alas
an mengapa di masa mendatang akan terjadi benturan antara perbedaan, yaitu :
1)
Perbedaan
anatara peradaban tidak hanya riel (kenyataan) melainkan juga mendasar.
2)
Dunia sekarang
semakin menyempit, Interaksi antara orang-orang berbeda peradaban semakin
meningkat.
3)
Proses
modernisasi ekonomi dan sosial dunia membuat orang atau masyarakat tercerabut
dari identitas diri lokal mereka yang sudah berakar dalam, disamping
memperlemah negara bangsa sebagai sumber identitas bangsa.
4)
Tumbuhnya
kesadaran peradaban dimungkinkan karena peran ganda barat.
5)
Karakteristik
dan perbedaan budaya kurang bisa berkompromi di banding dengan perbedaan
politik dan ekonomi.
6)
Regionalism
ekonomi semakin meningkat.
Pendapat Huntington tersebut banyak menimbulkan
kontroversi, namun terlepas dari kontroversi tersebut hal yang harus kita
waspadai adalah munculnya perpecahan etnis, budaya, dan suku bangsa dalam tubuh
bangsa dan Negara kita sebagai sebuah kelompok sosial yang besar, yang harus
dijaga agar tidak terpecahbelah.
Merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri,
bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri dari sejumlah besar kelompok etnis,
budaya, agama, dan lain-lain. Negara dan bangsa Indonesia secara sederhana
dapat disebut masyarakat “multikultural”. Akan tetapi di pihak lain, realitas
“multikultural“ tersebut berhadapan
langsung dengan kebutuhan mendesak untuk menata ulang (rekonstruksi)
“kebudayaan nasional Indonesia” yang menjadi ”integrating force”, yaitu kekuaatan yang mengikat seluruh keragaman
etnis dan budaya tersebut.
Pandangan dunia “multicultural” secara substansi
sebenarnya tidaklah terlalu asing bagi bangsa dan negara Indonesia. Prinsip
Indonesia sebagai negara “bhineka tunggal ika” mencerminkan bahwa meskipun
Indonesia adalah “multicultural”,
tetapi tetap terintegrasi dalam persatuan dan kesatuan. Prinsip inilah yang
harus dijadikan “integrating force”
disamping kita mempunyai norma dasar (groundnorm),
yaitu dasar negara Pancasila yang dapat dijadikan ikatan kelompok sosial yang
bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
5.
Pengaruh Multikultural Terhadap Kehidupan Beragama,
Bermasyarakat, Bernegara dan Kehidupan Global
Negara Indonesia
berdiri dengan latar belakang masyarakat yang majemuk etnis, geografis,
kultural maupun religius. Dengan kemajemukannya, Indonesia menjadi bangsa yang
pluralistik dengan konsekuensi perlunya toleransi terhadap berkembangnya
kebudayaan suku bangsa dan kebudayaan beragama yang dianut oleh warga negara
Indonesia. Masalah suku bangsa dan
kesatuan nasional di Indonesia menunjukkan diperlukannya suatu kebudayaan
nasional untuk menginfestasikan peranan identitas nasional dan solidaritas
nasional diantara warganya. Gagasan
tentang kebudayaan nasional Indonesia yang mneyangkut kesadaran dan identitas
sebagai suatu bangsa telah dirancang saat bangsa Indonesia belum merdeka.
Perbedaan setiap manusia baik fisik maupun mental
merupakan kehendak Tuhan yang seharusnya dijadikan sebagai potensi untuk
menciptakan kehidupan yang menjunjung tinggi toleransi. Oleh karena itu,
manusia dikodratkan sebagai makhluk yang dibekali nilai harmoni. Perilaku dan
kegiatan kita sehari-hari merupakan warisan kebudayaan suku bangsa, kebudayaan
agama yang berjalan beriringan dengan pedoman kehidupan berbangsa dan
bernegara. Berbagai kebudayaan ini beriringan, saling melengkapi bahkan mampu
saling menyesuaikan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, terkadang perbedaan ini
menimbulkan ketegangan hubungan antaranggota masyarakat.
Perbedaan yang muncul di masyarakat hendaknya
dihadapi dengan sikap terbuka, logis dan dewasa karena perbedaan harus dianggap
sebagai rahmat dan mengajarkan kita toleransi, kerja sama dan berpikir dewasa.
Jika kedewasaan dan keterbukaan dikesampingkan, besar kemungkinan tercipta
masalah-masalah yang menggoyahkan persatuan dan kesatuan bangsa seperti:
1.
Diharmonisasi,
yaitu tidak adanya penyesuaian atas keragaman antara manusia dengan dunia
lingkungannya. Salah satu penyebabnya adalah paham globalisasi yang memikat
masyarakat dunia dengan tawarannya akan keseragaman global untuk maju bersama
dengan komunikasi gaya hidup manusia yang bebas dan harmonis dalam tatanan
dunia, dengan mengesampingkan keunikan dan keberagaman manusia sebagai pelaku
utamanya.
2.
Perilaku
diskriminatif terhadap etnis atau kelompok masyarakat tertentu akan memunculkan
masalah yang lain, yaitu kesenjangan dalam berbagai bidang yang tentu saja
tidak menguntungkan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangsa Indonesia
pernah mengalaminya saat puncak tragedy 1998, dimana etnis Tionghoa mendapat berbagai
perlakuan tak menyenangkan, bahkan sampai terjadi perkosaan missal terhadap
gadis-gadis Tionghoa di Indonesia.
3.
Eksklusifisme,
rasialis, bersumber dari superioritas diri, alasannya dapat bermacam-macam
antara lain: keyakinan bahwa secara kodrati ras/suku kelompoknya lebih tinggi
dari ras/suku lain. Contoh yang paling fenomenal di abad ini adalah pengaruh
Adolf Hitler dan Partai Nasionalis Sosialis yang membantai hampiir 35.000.000
jiwa selama Perang Dunia II, terutama terhadap kaum Yahudi, Rusia dan Gypsi.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk
memperkecil masalah yang diakibatkan oleh pengaruh negatif dari keragaman,
yaitu:
1.
Semangat
religius.
2.
Semangat
nasionalisme.
3.
Semangat
pluralisme.
4.
Semangat
humanisme.
5.
Dialog antar
umat beragama.
6.
Membangun suatu
pola komunikasi untuk interaksi ataupun konfigurasi hubungan antar agama, media
massa dan harmonisasi dunia.
Keterbukaan, kedewasaan sikap, pemikiran global yang
bersifat inklusif serta kesadaran kebersamaan dalam mengarungi sejarah
merupakan modal yang sangat menentukan bagi terwujudnya sebuah bangsa yang Bhineka Tunggal Ika. Menyatu dalam
keberagaman dan beragam dalam kesatuan. Segala bentuk kesenjangan didekatkan,
segala keanekaragaman dipandang sebagai kekayaan bangsa, milik bersama. Sikap
inilah yang perlu dikembangkan dalam pola pikir masyarakat untuk menuju
Indonesia menjadi sebuah komunitas sosial atau kelompok sosial yang besar
diantara negara-negara yang ada di dunia.
Problematika lainnya yang timbul dan harus
diwaspadai adalah adanya disintegrasi bangsa. Dari kajian yang dilakukan
terhadap berbagai kasus disintegrasi bangsa dan bubarnya sebuah negara, dapat
disimpulkan adanya enam faktor utama yang secara gradual bisa menjadi penyebab
utama proses itu, yaitu:
1.
Kegagalan
pemimpin
Integrasi
bangsa adalah landasan bagi tegaknya sebuah negara modern. Keutuhan wilayah
negara amat ditentukan oleh kemampuan para pemimpin dan masyarakat warga negara
memelihara komitmen kebersamaan sebagai suatu bangsa.
2.
Krisis ekonomi
yang akut dan berlangsung lama
Krisis
di sektor ini selalu merupakan amat signifikan dalam mengawali lahirnya krisis
yang lain (politik-pemerintahan, hukum dan sosial). Tidak dapat dipungkiri
bahwa stabilitas nasional belum pulih total dari krisis moneter tahun 1997.
3.
Krisis politik
Krisis
politik merupakan perpecahan elit di tingkat nasional, sehingga menyulitkan
lahirnya kebijakan utuh dalam mengatasi krisis ekonomi. Krisis politik juga
dapat dilihat dari absennya kepemimpinan politik yang membangun solidaritas
sosial untuk secara solid menghadapi krisis ekonomi. Semua ini mengakibatkan
kepemimpinan nasional semakin tidak efektif, maka kemampuan pemerintah dalam
member pelayanan publik akan semakin merosot.
4.
Krisis sosial
Krisis
sosial dimulai dengan adanya disharmoni dan bermuara pada meletusnya konflik
kekerasan diantara kelompok-kelompok masyarakat (suku, agama, ras).
5.
Intervensi asing
Intervensi
internasional yang bertujuan memecah belah, seraya mengambil keuntungan dari
perpecahan itu melalui dominasi pengaruhnya terhadap kebijakan politik dan
ekonomi negara-negara baru pasca disintegrasi. Intervensi itu bergerak dari
yang paling lunak hingga berupa provokasi terhadap kelompok-kelompok yang
berkonflik.
Masyarakat sebagai sebuah kelompok sosial tidak
selamanya hidup dalam kerukunan. Ada beberapa konflik yang timbul dalam
masyarakat yang menyebabkan masyarakat sebagai kelompok sosial berubah ke arah
negatif.
Ada beberapa teori yang menunjukkan penyebab konflik
ditengah masyarakat antara lain:
1.
Teori hubungan
masyarakat, memiliki pandangan bahwa konflik yang sering muncul di tengah
masyarakat disebabkan polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan
permusuhan di antara kelompok yang berbeda, perbedaan bisa dilatarbelakangi
SARA bahkan ideologi politiknya.
2.
Teori identitas
yang melihat bahwa konflik yang mengeras di masyarkat tidak lain disebabkan
identitas yang terancam yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau
penderitaan masa lalu yang tidak terselesaikan.
3.
Teori
kesalahpahaman antarbudaya, teori ini melihat konflik disebabkan ketidakcocokan
dalan cara-cara berkomunikasi diantara budaya yang berbeda.
4.
Teori
transformasi yang memfokuskan pada penyebab terjadi konflik adalah
ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah sosial, budaya
dan ekonomi.
Realitas keragaman budaya bangsa ini tentu membawa
konsekuensi munculnya persoalan gesekan antar budaya, yang mempengaruhi
dinamika kehidupan masyarakat sebagai
kelompok sosial, oleh karena itu seluruh bangsa Indonesia harus bersikap terbuka
dalam melihat semua perbedaan dalam keragaman yang ada, menjunjung tinggi
nilai-nilai kesopanan dan menjadikan keragaman sebagai kekayaan bangsa, alat
pengikat persatuan (integrating force)
seluruh masyarakat dalam kebudayaan yang beraneka ragam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar